- Home »
- Makalah Musaqah, Muzara'ah, Mukhabarah
Asep Mukhlis M Abdulmanan
On 23 Jan 2014
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini
sebagai sumber ekonomi.
dalam
kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang
bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan
bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga
diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan
Muzara’ah .Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan
sosial.
1.2 Rumusan masalah
Yang
dimuat dalam rumusan masalah yakni sejumlah masalah yang dirumuskan yang
diawali dengan kata ganti tanya dan
diakhiri dengan tanda tanya. Serta mengacu pada judul penelitian. Adapun yang
menjadi masalah dalam karya tulis ini yaitu:
1. Apa
pengertian Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah?
2.
Apa hukum Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah beserta
landasan hukumnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari
rumusan masalah di atas, tujuan pembatan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengertian Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah dan mengetahui hukum-hukumnya atau
mengetahui semua yang berkaitan dengan Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah.
Bab 2
Pembahasan
A.
Musaqah
1. Pengertian
Al musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu
kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak
dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau
belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan
merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah).
Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang
dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.
2. Dalil
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
'anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:
قَالَتِ َاْلأَنْصَارُ لِلنَّبِيِّ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا النَّخِيلَ قَالَ لاَ فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنَشْرَكْكُمْ فِي الثَّمَرَةِ قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.
“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’”
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:
قَالَتِ َاْلأَنْصَارُ لِلنَّبِيِّ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا النَّخِيلَ قَالَ لاَ فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنَشْرَكْكُمْ فِي الثَّمَرَةِ قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.
“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’”
3. Dasar Hukum
Dasar hukum
yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a. Dari
Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu
Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada
orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan
Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Hukum
Hukum Musaqah:
1) Hukum musaqah sahih
Menurut
ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a) Segala
pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap,
sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,
b) Hasil
dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,
c) Jika
pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,
d) Akad
adalah lazim dari kedua belah pihak,
e) Pemilik
boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,
f) Boleh
menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g) Penggarap
tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh
pemilik.
2) Hukum musaqah fasid
Musaqah
fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Menurut
ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a) Mensyaratkan
hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad,
b) Mensyaratkan
salah satu bagian tertentu bagi yang akad,
c) Mensyaratkan
pemilik untuk ikut dalam penggarapan,
d) Mensyaratkan
pemetikan dan kelebihan pada penggarap,
e)
Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian,
f)
Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis wakt akad,
g)
Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan,
h) Musaqah
digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap
lainnya.
5. Syarat
Syarat-syarat musaqah:
1)
Ahli dalam akad
2)
Menjelaskan bagian penggarap
3)
Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian bagian yang
akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil bersama.
4)
Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan
akad
5)
Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
6. Rukun
Rukun
musaqah adalah
1)
Shigat,
2)
Dua orang yang akad (al-aqidain),
3)
Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah),
4)
Masa kerja, dan
5)
Buah.
7. Macam-macam
Musaqah ada 2 macam, yaitu :
1. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan, ataupun usaha-usaha yang lain.
1. Musaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik.
2. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya (Cuma mengairi), yaitu mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik dengan menggali sumur, membuat parit, bendungan, ataupun usaha-usaha yang lain.
8. Hikmah
1.Menghilangkan bahaya kefaqiran dan
kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2.Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3.Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.
2.Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3.Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.
B.
Muzara’ah dan Mukhabarah
1. Pengertian
Menurut etimologi, muzara,ah adalah wazan
“mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki
arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
a. Ulama Malikiyah; “Perkongsian dalam bercocok tanam”
b.Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok
tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara
keduanya.
c.
Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah
di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah,
sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah
atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif
yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah
dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan
ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi
Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.Mengartikan
sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang
hasilnya dibagi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Muzaraah
merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam
keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan
menanggung kerugian yang terjadi.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini lebih jauh
dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu
pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah, apabila
tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila
tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.
2. Dalil
Dalil
Muzara’ah
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar:
جرخيامرطشبربيخلهألماعملسوهيلعللهالصىبنلانأرمعنبإنع
34عرزوأمثنماهنم
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata
“Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat
mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”.
Hadist yang diriwayatakn oleh Imam
Bukhori dari Abdillah
دوهيلا ربيخىطعأملسوهيلعللهالصلوسرلاقهنعللهاىضرللهادبعنع
35اهنمجرخامرطشمهلواهوعرزيواهولمعينأىلع
Artinya:“Dari Abdullah RA
berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di
kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.”
Hadist-hadist
tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi hasil Muzara’ah diperbolehkan,
karena Nabi SAW sendiri pernah melakukannya.
Dalil
Mukhabarah
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ
حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ
هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَArtinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ
ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رومسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
3. Dasar Hukum
Dasar hukum yang
digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah:
a. Berkata
Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk
mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang
lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan
cara demikian (H.R. Bukhari)
b. Hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a. “Sesungguhnya
Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya,
supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa
yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu
c. Dari
Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
d. Imam
Al-Bukhari berkata, Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, Ia berkata,
tidaklah di Madinah ada penghuni rumah hijrah kecuali mereka bercocok tanam
dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad
bin Malik,’Abdullah bin Mas’ud ,’Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Urwah ,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin melakukan
Muzaraah (HR.Bukhari).
e. Imam
Ibnul Qayyim berkata : kisah Khaibar merupakan dalil kebolehan Muzara’ah dan
Mukhabarah, dengan membagi hasil yang diperoleh antar pemilik dan pekerjanya,
baik berupa buah buahan maupun tanaman lainnya. Raulullah sendiri bekerja sama
dengan orang-orang Khaibar dalam hal ini. Kerja sama tersebut berlangsung
hingga menjelang wafat Beliau, serta tidak ada nasakh yang menghapus hukum
tersebut. Para Khulafaur rasyidin juga melakukan kerja sama tersebut. Dan ini
tidak termasuk dalam jenis mu’ajarah (mengupah orang untuk bekerja) akan tetapi
termasuk dalam musyarakah (kongsi/kerjasama), dan ini sama seperti bagi hasil.
4. Hukum
Hukum muzara’ah dan mukhabarah
1) Hukum muzara’ah dan mukhabarah sahih
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai
berikut:
a) Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
b) Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
c) Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
d) Menyiram atau menjaga tanaman.
e) Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah
ditetapkan.
f)
Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum
diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad
didasarkan pada waktu.
2) Hukum Muzara’ah fasid
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
a) Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
b) Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
c) Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari
pekerjaannya
5. Syarat
Syarat Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan
dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan kadar bagian pekerja atau bagian
pemilik tanahdan hendaknya bagian tersebut adalah hasil yang diperoleh dari
tanah tersebutseperti sepertiga, seperempat
atau lebih dari hasilnya.
6. Rukun
Rukun-rukun
dalam Akad Muzara’ah
Jumhur ulama’ yang membolehkan akad
Muzara’ah menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi
sah.
a. Ijab qabul (akad)
b. Penggarap dan pemilik tanah
(akid)
c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d. Harus ada ketentuan bagi
hasil.4152
Dalam
akad Muzara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka pelaksanaan
akad Muzara’ah tersebut batal.
Rukun-rukun dalam Akad Mukhabarah
1.
Akad mukhabarah diperbolehkan,berdasarkan hadist Nabi SAW: ﻋﻦﺍﺑﻦﻋﻤﺮﺍﻥﺍﻟﻨﺒﻲﺹْﻡْ
:ﻋﻤﻞﺍﻫﻞﺣﻴﺒﺮﺑﺸﺮﻃ
ﻣﺎﻳﺤﺮجﻣﻨﻬﺎﻣﻦﺛﻤﺮﺃﻭﺯﺭع
(ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ)
“Sesungguhnya Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar
ditanami dan diperlihara,dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian
hasilnya.”(HR.Muslim dari Ibnu Umar ra.)
2.
Adapun rukun mukhabarah menurut pendapat umum antara lain: Pemilik dan
penggarap sawah / ladang. Sawah / ladang Jenis pekerjaan yang harus dilakukan
Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah) Akad (sighat)
7.
Macam-macam
Macam-Macam Muzara’ah
Ada
empat 4 macam bentuk Muzara’ah.
1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak sedangkan pihak lainnya menyediakan alat juga melakukan pekerjaan. Pada jenis yang pertama ini hukumnya diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dan benih berasal dari pemilik tanah, sedangkan alatnya berasal dari penggarap .
2. Tanah disediakan satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan pekerjaannya disediakan oleh pihak lain. Hukum pada jenis yang kedua ini juga diperbolehkan. Disini penggarap sebagai penyewa akan mendapatkan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
3. Tanah, alat, dan bibit disediakan pemilik, sedang tenaga dari pihak penggarap. Bentuk ketiga ini hukumnya juga diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dengan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
4. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak penggarap. Pada bentuk yang keempat ini menurut, Zhahir riwayat, muzara’ah menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad yang dilakukan sebagai menyewa tanah maka alat dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, ini disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat. Sebaliknya, jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus berasal dari penggarap yang mana akan menyebabkan ijarah menjadi fasid, ini disebabkan bibit tidak mengikuti penggarap melainkan kepada pemilik.
1. Tanah dan bibit berasal dari satu pihak sedangkan pihak lainnya menyediakan alat juga melakukan pekerjaan. Pada jenis yang pertama ini hukumnya diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dan benih berasal dari pemilik tanah, sedangkan alatnya berasal dari penggarap .
2. Tanah disediakan satu pihak, sedangkan alat, bibit, dan pekerjaannya disediakan oleh pihak lain. Hukum pada jenis yang kedua ini juga diperbolehkan. Disini penggarap sebagai penyewa akan mendapatkan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
3. Tanah, alat, dan bibit disediakan pemilik, sedang tenaga dari pihak penggarap. Bentuk ketiga ini hukumnya juga diperbolehkan. Status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dengan sebagian hasilnya sebagai imbalan.
4. Tanah dan alat disediakan oleh pemilik, sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak penggarap. Pada bentuk yang keempat ini menurut, Zhahir riwayat, muzara’ah menjadi fasid. Ini dikarenakan misal akad yang dilakukan sebagai menyewa tanah maka alat dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, ini disebabkan alat tidak mungkin mengikuti kepada tanah karena ada bedanya manfaat. Sebaliknya, jika akad yang terjadi menyewa tenaga penggarap maka bibit harus berasal dari penggarap yang mana akan menyebabkan ijarah menjadi fasid, ini disebabkan bibit tidak mengikuti penggarap melainkan kepada pemilik.
8. Hikmah
Muzara’ah
Adapun manfaat
yang lainnya,antara lain: Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan
antara pemilik tanah dengan petani dan penggarap Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Tertanggulanginya kemiskinan Terbukanya lapangan pekerjaan,terutama
bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah
garapan.
Mukhabarah
Dalam
MUKHABARAH, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah
hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya. Jika benih berasal dari kdeuanya, maka zakat diwajibkan kepada
keduanya jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Adapun
hikmah Mukhabarah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling
menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan
bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
Bab 3
Kesimpulan
1. Muzara’ah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan
dan benihnya ditanggung pemilik tanah
2. Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
3. Musaqah
adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan
menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam
jumlah tertentu
4. Dasar
hukum yang dijadikan landasan Muzara’ah, mukhabarah dan musaqah adalah hadits dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil
pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
5. Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah maupun musaqah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah /buah dan hendaknya bagian
tersebut adalah hasil yang diperoleh dari tanah/buah tersebut seperti sepertiga,
seperempat atau lebih dari hasilnya.
6. Ada perbedaan pendapat mengenai hukum dari muzaraah dan mukhabarah di
kalangan ulama’ salaf, ada yang mengatakan muamalah ini haram dan ada yang
membolehkannya dikarenakan perbedaan pemahaman hadits Nabi Muhammad SAW.
7. Hukum dari muzaraah, mukhabarah dan musaqah ada yang bersifat sahih
yaitu akad dari muamalah tersebut sesuai dengan ketentuan syara’ dan ada yang
bersifat fasid (rusak) yaitu akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan syara’.
Daftar Pustaka
Adzim , Abdul bin
Badawi. 2007. Al-Wajiz. diterjemahkan
oleh Team Tasyfiyah, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari, diterjemehkan oleh
Abdul Hayyik Al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insan
Ad-Dzibbi , Ahmad bin
Muhammad. 2004. Al Lubab Fi Al-Fiqh Asy-Syafi’I. Beirut:
Dar Kutub Al-‘Ilmiayah
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. diterjemahkan oleh
Abu Usamah Fatkhur Rokhman. Jakarta: Pustaka Azzam
Ayo Belajar Fiqih
Muamalah, http://echyli2n.blogspot.com/fiqih-muamalah-musaqah/ akses: tanggal 6
maret 2009
http://jawharie.blogspot.com/2012/02/konsep-masaqah-muzaraah-mukhabarah-dan.html
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih dan izin copas kak :)
BalasHapus