- Home »
- ILMU PENGETAHUAN SOSIAL »
- GERAKAN PEMUDA
Asep Mukhlis M Abdulmanan
On 8 Apr 2013
1.Trikoro
Darmo/Jong Java
Jong
Java adalah suatu organisasi kepemudaan yang didirikan oleh Satiman
Wirjosandjojo di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret, 1915 dengan nama awal Tri
Koro Dharmo (TKD) (bahasa Indonesia: "Tiga Tujuan Mulia").
Perkumpulan pemuda ini didirikannya karena banyak pemuda yang menganggap bahwa
Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi elite.
- Sejarah
A.
Tahun 1915 – 1921 :
Pada
saat didirikan, ketuanya adalah Dr. Satiman Wirjosandjojo, dengan wakil ketua
Wongsonegoro, sekretaris Sutomo dan anggotanya Muslich, Mosodo dan Abdul Rahman
. Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mempersatukan para pelajar pribumi,
menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional serta memajukan pengetahuan
umum untuk anggotanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan
berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa,
menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri
Koro Dharmo.
TKD
berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni, 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan
di Solo, yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura
dan Bali. Bahkan tiga tahun kemudian atau pada tahun 1921 terbersit ide untuk
menggabungkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond, namun upaya ini tidak
berhasil.
Oleh
karena jumlah murid-murih Jawa merupakan anggota terbanyak, maka perkumpulan
ini tetap bersifat Jawa dan terlihat dalam kongres II yang diadakan di
Yogyakarta pada tahun 1919 yang dihadiri oleh sedikit anggota yang tidak
berbahasa Jawa. Namun dalam kongres ini dibicarakan beberapa hal besar antara
lain:
a.
Milisi untuk bangsa Indonesia
b.
Mengubah bahasa Jawa menjadi lebih demokratis
c. Perguruan tinggi
d. Kedudukan wanita Sunda
e.
Sejarah tanah Sunda dan
f.Arti
pendirian nasional Jawa dalam pergerakan rakyat
Pada
pertengahan tahun 1920 diadakan kongres III di Solo, Jawa Tengah dan pada
pertengahan tahun 1921 diadakan kongres ke-IV di Bandung, Jawa Barat. Dalam
kedua kongres tersebut, bertujuan untuk membangunkan cita-cita Jawa Raya. dan
mengembangkan rasa persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia.
B.
TAHUN 1921 – 1929 :
Dalam
semua kongres yang pernah diadakan, perkumpulan ini tidak akan ikut serta dalam
aksi politik, dimana hal ini ditegaskan dalam kongresnya yang ke-V, pada tahun
1922 di Solo, Jawa Tengah, bahwa perkumpulan ini tidak akan mencampuri politik
ataupun aksi politik.
Namun
pada kenyataannya perkumpulan ini mendapatkan pengaruh politik yang cukup kuat
yang datang dari Serikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Dalam
kongresnya pada tahun 1924, pengaruh SI semangkin terasa sehingga mengakibatkan
beberapa tokoh yang berpegang teguh pada asas agama Islam akhirnya keluar dari
perkumpulan ini dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada
tahun 1925 wawasan organisasi ini kian meluas, menyerap gagasan persatuan
Indonesia dan pencapaian Indonesia merdeka. Pada tahun 1928, organisasi ini
siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro
Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java,
semata-mata demi tanah air. Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27
Desember, 1929, Jong Javapun bergabung dengan Indonesia Moeda.
2.Partai
Komunis Indonesia
Partai Komunis
Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis.
Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan
pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada
tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30
September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI.
- Latar belakang sejarah
a. Sebelum
Revolusi Indonesia
Gerakan
Awal PKI
Partai
ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,
dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan
Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri
atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial
Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada
Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda,
"Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada
saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu,
ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga
orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan
cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan
Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan
yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV
memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial
Hindia.
Pada
1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".
Di
bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang
terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan
pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di
Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga
bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara
dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di
Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial
menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim
kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan
militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV
terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat.
Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan
pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai
berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.
b. Pembentukan
Partai Komunis
Pada
awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan
yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di
Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai.
Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan
indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran
komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut
ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah
menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH
adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis
Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini
adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
- Pemberontakan 1926
Pada
November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik.
Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan
orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya
kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa
orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga
menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan
kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana
pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh
Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di
Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon
Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau
begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi.
Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada
masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam
gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini
PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat
buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia
di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama
kemudian berada di dalam kontrol PKI.
- Peristiwa Madiun 1948
Pada
8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan
Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil
kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda.
Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang
dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa,
kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan
mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang
dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah,
mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh
lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan
dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama
berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin
untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan
PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba
kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak
aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa
Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya
dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan
partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam.
Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh
pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI
mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot
Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan
operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat
diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak
mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati.
- Bangkit kembali
Pada
1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya
yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi
sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung
kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden
Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda
seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada
1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30
tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar
3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta
pada 1959.
Pada
Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para
pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
- Pemilu 1955
Pada
Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara.
Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari
514 kursi di Konstituante. Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang
dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam
pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara
terbuka menuntut supaya PKI dilarang. Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat
buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai
perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah
partai nasional.
Pada
Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang
mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga
menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain
itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi
pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15
Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan
kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung
upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan
Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada
1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun
demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno
sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno
melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno
dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif,
dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas. Ketika gagasan
tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya. Perayaan
Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965 Dengan berkembangnya
dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi
partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai basis
yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI),
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI).
Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada
di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada
Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto,
diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina
terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang
pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh
presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan
Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang
masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan
pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai
Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan
dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah
satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya
Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin
mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS
nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan
senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
- Gerakan 30 September
Alasan
utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan
apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat
terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010] Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan
politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun
tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya
terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat terutama yang bercokol di
perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati
waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa,serta
serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya
bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan
"demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI,
sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa
telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih
dari satu ilusi.
Ada
pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan
Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam),
bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan
Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai
komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan
kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga
instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan,
adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut
keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih
semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah,
hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan
akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan
sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan
selanjutnya.
Antara
kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran
bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga
membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah
peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera
setelah terjadinya peristiwa.
Di
tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,
memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal
Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen
Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
Presiden
Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam
peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang
keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan
tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI.
Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi
keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan
seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1
Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata
yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial
dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan
para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan
melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang
pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di
Indonesia.
Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah
bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI
yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu
memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam
batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan
versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung
unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan
muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi
posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.
Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat
sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat
dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu
peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik
dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha
merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan
kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih
diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati
kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa
dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun
konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965,
terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses
telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
- Sejarah Taman
Siswa
Taman Siswa berdiri
pada tanggal 3 juli 1922, Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk
mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media
untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang
merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara
fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu
mengendalikan keadaan.
Bebicara
Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau
mendirikan Tamansiswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesiadan juga
sebagia alat perjuangan bagi rakyat indonesia. Tamansiswa adalah membangun anak
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta
sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan
Taman siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
A.
BERDIRINYA TAMAN SISWA
Tamansiswa
berdiri pada 3 juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian tama siswa
di awali dengan ketidak pusa dengan pola pendidikan yang di lakukan oleh
pemerintah kolonial, karena jarang sekali Negara colonial yang memberikan
fasilitas pendidikan yang baik kepada Negara jajahannya. Karena seperti yang di
katakana oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran akan merupakan dinamit bagi
system kasta yang di pertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
Sebab
itu maka di dirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan
terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Taman
Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman
Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya.
Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb,
sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Dengan
proses berdirinya Taman Siswa Ki hajar Dewantara telah mengesampingkan pendapat
revolusioner pada masa itu, tapai dengan seperti itu secara langsung usaha Ki
Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial.lain dari pada itu
kebangkitan bangsa-bangsa yang di jajah dan perlawanan terhadap kekuasaan
kilonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan
menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan
nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya
pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha
mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Pendidikan
Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam
sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap
harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang
memberikan pelayanan kepada anaknya.
Sistem
Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani.
Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi
baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih
didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat
anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di
jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk
mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang
selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang
lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada.
Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra
Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan
Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan
sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan
potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan
(berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
B.
REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMANSISWA
Taman
Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia di masa
mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan kekuasaan
kolonial. Oleh karena itu pemerintah jajahan berusaha untuk menghalang-halangi
perkembangan Taman Siswa khususnya, sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak
itu Taman Siswa akan menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah
Hindia Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat di kalangan orang Belanda yang
memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan kembali atas
pengajaran Gubernur, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo sepuluh
tahun.
Pemerintah
konservatif Gubernur Jendra de jonge menyambut kegelisahan orang Belanda dengan
mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no. 494
tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi
kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus ujud dan isi sekolah-sekolah
partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta
izin lebih dahulu sebelum dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin
mengajar. Rencana pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri,
demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum
di kalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hadjar Dewantara
yang mengirimkan protes dengan telegram kepada Gurbernur Jenderal di Bogor pada
tanggal 1 Oktober 1932.
Pada
tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hadjar Dewantara mengirimkan maklumat kepada segenap
pimpinan pergerakan rakyat, yang menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil
Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi
antara lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi
Utomo, Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyan,
dan lain-lainnya. Juga golongan peranakan Arab dan Tionghoa menyokong aksi ini.
Pers nasional tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya.
Moh Hatta sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya
mengorganisasi aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932 Wiranatakusumah,
anggota Volksraad mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan
Januari 1933 dengan sebuah usul inisiatif.
Usul
inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di dalam Volksraad, berisi: menarik
kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan
perubahan yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik
wakil-wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada
tanggal 31 Maret 1933. Juga di kalnag para ulama aksi melawan ordonansi sekolah
liar ini mendapat sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan
Ulama di Majalengka dan Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan
tekad perlawanan akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa
penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hadjar Dewantara, akhirnya dengan
keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar
diganti dengan ordonansi baru.
Perlawanan
Taman Siswa terhadap ordonansni sekolah liar merupakan masa gumilang bagi
sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa
Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap
peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun
1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200
buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.
C.
SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA
Pada
saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar (Konprensi)
yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi dengan masa kemerdekaan ini tidak semua guru Tamansiswa
menyadari akan dating juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka. Dalam
Rapat besar itu terdapat tiga pendapat di kalangan Tamansiswa dalam menghadapi
kemerdekaan.
Pertama,
pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya Indonesia
merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa sebagai
penggugah keinsafan nasional sidah habis, dan faktor melawan pemerintah jajahan
tidak ada lagi.
Kedua,
Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerinta Republik dapat mengadakan sekolah-sekolah
yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-sekolah negri pun belum
dapat di ubah sekaligus sebagai warisan sistempengajaran yang lampau.
Ketiga,
sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap di
perlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga
sudahnasional.
Perbedaan
pendapat di kalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bias di elakan, para
pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Tamansiswa. Tamansiswa
banyak di tinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal ini tidak
mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat
mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara,
pada awal kemerdekaan menjadi mentri pendidikan , Pengajaran dan Kebudayaan
yang pertama di dalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting
ialah pembentikan panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan
tamansiswa dengan segala isinya. Panitia ini di ketuai oleh S. Manggoensarkoro
dan kesimpiulan panitia ini diterima oleh Rapat Besar Umum (Kongres) V di
Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada
masa itu belanda telah mulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947,
sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di daerah
pendudukan. Kembali di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar”
tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah Republik pun dinyatakan
“sekolah liar” ketika sekolah di Jakarta di tutup, maka gedung Taman Siswa di
jalan Garuda 25 di banjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa di
tunjukan oleh sekolah Tamansiswa yang berada di daerah pendudukan mereka
berusaha mempertahankan sekolah mereka meski Majelis Luhur di Yogyakartatidak
menyetujui di teruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis
Luhur mengizinkan untuk membvuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah
pendudukan.
D.
TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN
Salah
satu masalah yang di hadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah meninjau
kembalai hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dlam hal penerimaan
subsidi.di kalang perguruan tinggi banyak perbedaan dalam menghadapi masalah
ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi itu dan di gunakan untu
pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa besar pengaruhnya agar tidak
menggangu terhadap prinsip “ merdeka mengurus diri sendiri” dan mereka yang
beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti pada masa colonial karena tidak
cocok dengan di Indonesia merdeka. Walaupun sempat di tahun 1946 adanya
keterbukaan untuk mengenai menghadapi masa kemerdekaanuntuk merumuskan kembali
sas dan dasar namun dalam pelaksanaanya mengenai subdidi ini masih banyak yang
ingin memelijara keadaan seperti yang lalu.
Di
kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua pendapat atau aliran. Yang
pertama aliran yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari system pendidikan
pemerintah, merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam
cita-citanya sendiri dan terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima
konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengantetap mempertahankan system
pondok yang relative terasing dari masyarakat sekitarnya. Aliran pemikiran yang
kedua ialah mereka ber pendapat bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru
sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu di
hadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan
keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan
politik pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA :
http://id.wikipedia.org/wiki/Jong_Java
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/sejarah-taman-siswa.html